Peristiwa
pembantaian Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh terjadi pada tahun 1989 sampai
1998 ini merupakan pembantaian besar bagi masyarakat Aceh, terutama bagi kaum
perempuan. Mereka di siksa dan dilecehkan, dipisahakan dari keluarga mereka.
Pada sekitar
1989 – 1998, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya
di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga
dilakukan oleh gerakan separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK
tidak lagi bisa teratasi (1976-1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk
menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada 1989.
Sejak saat itu operasi militer dilakukan
dengan sandi operasi “Jaring Merah” digelar di Aceh dengan Komando Resort
Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi Pelaksana. Daerah
Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara dan
sektor C/Aceh Timur.
Di lingkungan
daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir
untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis
guna mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh Merdeka (GPK–
AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara
lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle,
Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan.
Penempatan
sejumlah pos militer di sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan
tingkat ganguan keamanan, dan analisis strategi militer. Letak Pos Sattis
sengaja dipilih pada tempat-tempatyang strategis dengan menempati Rumoh Geudong
(rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya
mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan
bergerak masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Pos Sattis adalah andalan Operasi militer di
tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan sukses atau tidaknya
sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 –
10 personil militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh
beberapa orang Tenaga Pembantu Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal
dari masyarakat sipil.
Setelah DOM
dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah
mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga
sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti
penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan
pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh
Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM).
Tindakan di
luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun
juga perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang
ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada
yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan
mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer.
Banyak juga
diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena
rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang
menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali dihitung
mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan
mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya
penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh Geudong.
Tindak
penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya dilakukan untuk
memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang bersangkutan
atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan dengan
cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata, disetrum, ditelanjangi
dll.
Ternyata
penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan luka berat
namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan Mustakhir.
Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui
makamnya ada di mana. Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga
melakukan tindakan kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti
pemerkosaan dan juga pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan
di depan khalayak umum.
Kasus pelanggaran
HAM yang terjadi di Aceh telah menyisakan luka yang sangat mendalam. Kasus ini
jelas melanggar konvenat yang dikeluarkan PBB dan bertentangan dengan
undang-undang Republik Indonesia tentang HAM. Dapat kita lihat bahwa banyak hak
yang dilanggar disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta
benda, hak kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya proses hukum terhadap para
pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, dan tidak adanya rehabilitasi atas dampak
konflik yang dialami korban.
Sebagaimana
kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang sangat besar yang
telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kelangsungan
hidupnya ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu, kehilangan orang yang
dicintai, hilangnya pekerjaan, kondisi kesehatan yang buruk, pengorbanan atas
harta benda, pencemaran nama baik, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap
perempuan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang sampai kapanpun tidak bisa
ditolerir dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
Pemerintah
hanya mengeluarkan janji penuntasan peristiwa DOM, namun tak ada satupun bukti
yang dilakukan untuk penuntasan kasus ini. Bahkan sampai sekarang ini pun tak
ada penyelesaian.
Hal yang harus
dilihat kedepan adalah bagaimana agar masyarakat Aceh yang dilanggar hak nya
mendapatkan haknya kembali. Kedepan, penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM
tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh pemerintah Indonesia sebagai regulator
dan sebagai pengelola Negara, hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan
kepada para korban secara khusus, dan kepada masayarakat Indonesia secara umum,
hal ini juga diharapkan akan menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat
dan penyelenggara negara, untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran
tersebut diatas.
Terutama diperlukannya
kemauan yang kuat dari pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya menyelesaikan
pelanggaran HAM ini, ditingkat daerah, seperti di Aceh pemerintah harus segera
menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini, melaksanakan institusionalisasi
instrumen penanganan masalah HAM.
Seluruh
masyarakat Aceh yang menjadi korban DOM mempunyai hak untuk keadilan dariapa
yang sudah menimpa mereka dengan cara pemerintah bertindak dengan tegas dan
cepat menangani kasus pelanggaran yang sudah terjadi dan menghukum orang-orang
yang sudah melakukan pelanggaran HAM yang berat terhadap mereka saat terjadinya
DOM di Aceh.
Pembantaian
DOM terjadi pada tahun 1990 setelah ditetapkannya bahwa Aceh menjadi Daerah
Operasi Militer pada tahun 1989. Baru diketahui setelah DOM dicabut pada
tanggal 7 Agustus 1998.
Pembantaian
DOM salah satu pelanggaran HAM terbesar bagi masyarakat Aceh, terutama bagi
kaum perempuan, mereka di siksa, dilecehkan, juga hak berkeluarga karena mereka
dipisahkan dari suami, anak, ayah. Bahkan masih banyak hak yang dilanggar
disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak
kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum.
Seharusnya pemerintah
sebagai regulator dan sebagai pengelola Negara, harus tegas dan cepat menangani
kasus HAM ini, apalagi dilakukan oleh anggota militer dan juga termasuk
pelanggaran HAM berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar