Kamis, 03 November 2016

PEMBANTAIAN DOM ACEH 1989


            Peristiwa pembantaian Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh terjadi pada tahun 1989 sampai 1998 ini merupakan pembantaian besar bagi masyarakat Aceh, terutama bagi kaum perempuan. Mereka di siksa dan dilecehkan, dipisahakan dari keluarga mereka.
Pada sekitar 1989 – 1998, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga dilakukan oleh gerakan separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa teratasi (1976-1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada 1989.
 Sejak saat itu operasi militer dilakukan dengan sandi operasi “Jaring Merah” digelar di Aceh dengan Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi Pelaksana. Daerah Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur.
Di lingkungan daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh Merdeka (GPK– AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan.
Penempatan sejumlah pos militer di sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan, dan analisis strategi militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada tempat-tempatyang strategis dengan menempati Rumoh Geudong (rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pos Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan sukses atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 – 10 personil militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang Tenaga Pembantu Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil.
Setelah DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM).
Tindakan di luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun juga perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer.
Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh Geudong.
Tindak penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang bersangkutan atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan dengan cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata, disetrum, ditelanjangi dll.
Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan luka berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan Mustakhir. Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui makamnya ada di mana. Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan tindakan kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak umum.
Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh telah menyisakan luka yang sangat mendalam. Kasus ini jelas melanggar konvenat yang dikeluarkan PBB dan bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia tentang HAM. Dapat kita lihat bahwa banyak hak yang dilanggar disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, dan tidak adanya rehabilitasi atas dampak konflik yang dialami korban. 
Sebagaimana kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang sangat besar yang telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kelangsungan hidupnya ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu, kehilangan orang yang dicintai, hilangnya pekerjaan, kondisi kesehatan yang buruk, pengorbanan atas harta benda, pencemaran nama baik, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang sampai kapanpun tidak bisa ditolerir dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. 
Pemerintah hanya mengeluarkan janji penuntasan peristiwa DOM, namun tak ada satupun bukti yang dilakukan untuk penuntasan kasus ini. Bahkan sampai sekarang ini pun tak ada penyelesaian.
Hal yang harus dilihat kedepan adalah bagaimana agar masyarakat Aceh yang dilanggar hak nya mendapatkan haknya kembali. Kedepan, penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh pemerintah Indonesia sebagai regulator dan sebagai pengelola Negara, hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban secara khusus, dan kepada masayarakat Indonesia secara umum, hal ini juga diharapkan akan menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat dan penyelenggara negara, untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas.
Terutama diperlukannya kemauan yang kuat dari pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM ini, ditingkat daerah, seperti di Aceh pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini, melaksanakan institusionalisasi instrumen penanganan masalah HAM.
            Seluruh masyarakat Aceh yang menjadi korban DOM mempunyai hak untuk keadilan dariapa yang sudah menimpa mereka dengan cara pemerintah bertindak dengan tegas dan cepat menangani kasus pelanggaran yang sudah terjadi dan menghukum orang-orang yang sudah melakukan pelanggaran HAM yang berat terhadap mereka saat terjadinya DOM di Aceh.
            Pembantaian DOM terjadi pada tahun 1990 setelah ditetapkannya bahwa Aceh menjadi Daerah Operasi Militer pada tahun 1989. Baru diketahui setelah DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998.
            Pembantaian DOM salah satu pelanggaran HAM terbesar bagi masyarakat Aceh, terutama bagi kaum perempuan, mereka di siksa, dilecehkan, juga hak berkeluarga karena mereka dipisahkan dari suami, anak, ayah. Bahkan masih banyak hak yang dilanggar disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum.
Seharusnya pemerintah sebagai regulator dan sebagai pengelola Negara, harus tegas dan cepat menangani kasus HAM ini, apalagi dilakukan oleh anggota militer dan juga termasuk pelanggaran HAM berat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar